Membongkar Pemaknaan Ayat Versi Depag: Mencari Tafsir Alternatif
Saleh lapadi
Memaknai ayat Al-Quran memang tidak mudah, sekedar menguasai bahasa Arab pun bukan melulu mencukupi. Untuk itu diperlukan seperangkat ilmu lain yang berkaitan dengan Al-Quran agar terjemahan yang dilakukan lebih tepat dan benar.
Dalam tulisan ini, saya ingin mencoba memaknai ayat Al-Quran dengan alternatif lain lepas dari apa yang telah dilakukan secara baku oleh Departemen Agama. Sambil mencoba membuka u*censored* baru pemaknaan ayat Al-Quran yang lebih ramah. Sehingga Al-Quran tidak lagi dimaknai secara terpilah-pilah namun dengan tuntunan yang utuh dari sebuah pandangan dunia.
Sekaitan dengan itu, fokus utama yang hendak saya pertajam adalah masalah pemaknaan yang semena-mena terhadap Al-Quran tentang perempuan. Seluhurnya, sebelum memaknai hal yang berkaitan dengan perempuan, seorang penerjemah hendaknya terlebih dahulu memiliki sebuah pandangan yang holistik tentang perempuan menurut perspektif Islam. Hal ini urgen dirasa, karena perkara tersebut akan menuntunnya memberikan bingkai pemaknaan yang lebih tepat dan benar.
Sebagai contoh kasus yang akan saya dedah dalam tulisan ini adalah bagian dari Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 34. Alah set berfirman:
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatiri nusyuznya[1], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka.”[2] Dalam ayat 34 surat An-Nisa’ di atas kata ‘idhribu hunna’ diartikan dengan dan pukulah mereka.
Hal pertama yang perlu dilakukan oleh seorang penerjemah adalah mencari arti dari kata ‘dharaba’. Dan dalam hal ini kata ‘dharaba’ memiliki banyak arti. Al-Quran sendiri memakai kata ini dalam banyak pengertian seperti; membuat contoh dan permisalan,[3] bepergian,[4] membuat,[5] menutup,[6] dan makna-makna lain yang disebut dalam kamus bahasa Arab. Sekalipun memiliki makna yang beragam namun kata ‘dharaba’ memiliki makna yang lebih sering digunakan yaitu memukul.
Sesuai dengan kaidah bahwa zuhur[7] sebuah kalimat adalah hujjah dan dapat dijadikan alasan, maka kata ‘dharaba’ kemudian dimaknai dengan memukul. Artinya, makna terdekat dan yang sering dipakai adalah memukul. Dengan demikian, ayat Al-Quran di atas yang diartikan dengan memukul memiliki pembenaran.
Sebelum mengkaji ayat di atas, mungkin perlu untuk melihat susunan secara umum dari ayat tersebut dan apa pesan yang dikandungnya. Al-Quran, dalam versi terjemahan Depag, hendak memberikan tuntutan bagaimana seorang suami memperlakukan istrinya bila dikhawatirkan akan melakukan pembangkangan terhadapnya atau melakukan perbuatan yang melanggar aturan-aturan agama maka yang harus dilakukan adalah: (1) Memberi nasihat, (2) Pisah ranjang, dan (3) Memukul.
Di sini terlihat bahwa Al-Quran mencoba untuk memberikan jalan keluar bagi seorang suami sebagai kepala rumah tangga apa yang harus dilakukan bila istri melanggar. Tiga cara bertahap yang perlu dilakukan oleh seorang suami dimaksudkan agar istrinya kemudian kembali dan insaf untuk tidak melakukan hal melanggar tersebut. Untuk itu langkah pertama yang perlu ditempuh adalah memberi nasihat. Harus ada dialog terlebih dahulu. Bila ternyata sang istri masih tetap dengan perilaku menyimpangnya maka langkah kedua yang perlu diambil adalah dengan melakukan pisah ranjang. Sang suami kemudian mengambil jarak dari sang istri. Terlihat di sini bahwa tahapan kedua ini lebih keras dari yang pertama. Sayangnya, tanpa melihat proses ini dan penjelasan lain yang akan datang tiba-tiba terjemahan menjadi memukul. Artinya pada langkah ketiga yang harus ditempuh oleh seorang suami adalah dengan memukul istri.
Sebagai metode dalam memperbaiki dan mengubah seseorang, cara memukul bukanlah jalan keluar yang terbaik. Karena perilaku memukul bukan hanya tidak memberikan hasil yang diinginkan bahkan sebaliknya, orang yang dipukul malah kemudian bisa bertambah sikap pembangkangannya. Mungkin untuk sementara waktu ia akan taat tapi kemudian malah melakukan yang lebih buruk.
Ada satu makna lain untuk kata ‘dharaba’ seperti yang disebutkan dalam kamus Al-Munjid yang berarti berpisah. Dan satu makna lain yang lebih tepat untuk ayat ini adalah membiarkan dan tidak memperhatikan sebagaimana dalam hadis yang menyebutkan bahwa bila ada riwayat yang tidak sesuai dengan ayat Al-Quran, maka biarkan dan lemparkan saja ke tembok. Artinya, hadis tersebut tidak perlu diperhatikan dan dipedulikan lagi.
Bila makna ini yang kita ambil untuk memaknai ayat Al-Quran surat An-Nisa’ di atas akan lebih sesuai dengan tahapan untuk memperbaiki istri. Setelah dinasihati maka yang perlu dilakukan adalah pisah ranjang untuk sementara waktu dan bila masih juga terjadi pembangkangan yang perlu dilakukan seorang suami adalah membiarkan dan tidak menyapa istrinya agar sadar bahwa apa yang dilakukannya sangat tidak disukai oleh suaminya. Di sini, pada langkah ketiga di mana suami mencoba untuk tidak melakukan hubungan dengan istrinya secara total, istri akan merasa bahwa ia sudah betul-betul tidak diperhatikan lagi sebagai salah satu anggota keluarga. Dengan ini diharapkan bahwa sang istri kembali sadar dengan tanggung jawabnya selaku istri.
Pemaknaan ayat 34 surat An-Nisa’ dengan yang dijelaskan di atas akan lebih sesuai dengan ayat lain dari surat An-nisa’ yang berbunyi, “Dan bergaulah dengan mereka secara patut”.[8] Bahwa cara yang dilakukan dengan mendiamkan istri dan tidak memperhatikannya akan lebih tepat disebut pergaulan yang ma’ruf dan patut.
Di sisi lain, bila dimaknai dengan memukul maka akan memberikan pembenaran kepada setiap suami untuk melakukan penganiayaan kepada istrinya dengan sedikit kesalahan yang diperbuat. Ditambahkan lagi kurangnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan bila pemukulan dilakukan di dalam rumah membuat semakin sulit melakukan pembelaan terhadap hak-hak istri.
Sementara itu, dalam buku-buku fikih dijelaskan bahwa bila pemukulan dilakukan hingga menimbulkan bekas, maka pemukulan yang semacam ini dilarang bahkan dapat diadukan ke pengadilan. Dan bila itu benar, tentunya sang suami akan didenda dan diqisas terhadap perilakunya.
Oleh ulama, dalam menjelaskan masalah nusyuznya seorang istri, tidak banyak yang membicarakan tentang masalah pemukulan melainkan bagaimana memutuskan untuk seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Jarang ulama yang menjelaskan kualitas pemukulan yang tidak memberi bekas, berapa kali memukul dan setiap kali memukul jumlah pukulannya berapa dan lain-lain. Dan lebih penting dari itu, bila terjadi pengulangan berapa kali suami diperbolehkan melakukan proses ini. Sampai kapan, hal ini harus dilakukan.
Dan jangan lupa, bahwa peringatan terakhir dengan memukul bahkan mungkin menimbulkan perkelahian di antara kedua pasangan suami istri. Di sini, lagi-lagi, usaha untuk saling memahami kembali dari keduanya malah sulit dicapai bahkan menjadi hilang. Memukul malah menghilangkan tujuan asli dari ayat tersebut yang menginginkan bersatunya kembali pasangan suami istri.
Di sini pemaknaan ayat dengan kata memukul menjadi naif dan sia-sia, karena memukul dengan pelan dan tidak menimbulkan bekas tidak akan banyak pengaruhnya. Bahkan, langkah kedua yang dilakukan boleh dikata lebih baik dan lebih berpengaruh dari memukul tapi ringan. Sementara itu, yang diinginkan dari tahapan terakhir dari perilaku seorang istri yang membangkang tadi adalah agar ia kemudian sadar. Namun ternyata dalam prakteknya tahapan akhir malah lebih ringan dari yang kedua. Kecuali bila dimaknai bahwa penyebutan ketiga cara yang dilakukan itu tidak memiliki arti tahapan. Dan, tahapan akhir adalah yang terberat. Namun ini juga sulit diterima setelah melihat cara dan gaya bertutur Al-Quran itu sendiri.
Akhir dari keributan pasangan suami istri adalah perceraian. Namun itu dilakukan ketika sudah tidak ada lagi logika yang dapat mengembalikan seorang istri ke pangkuan suaminya. Dan itu tidak didapatkan dengan memukul. Karena setelah memukul masih ada cara lain lagi yang dapat dilakukan yaitu tidak lagi melakukan hubungan dengan istri dan mengacuhkannya agar ia sadar bahwa ia masih diinginkan. Namun bila itu juga sudah tidak mempan baru ditempuh jalan terakhir yaitu perceraian. Perceraian tanpa harus dilakukan setelah baku hantam. Namun sebagaimana kata Al-Quran, bahwa bila kalian ingin berpisah, maka berpisahlah dengan cara yang baik, sebagaimana sebelumnya telah mengarungi kehidupan dengan baik.
lebih menarik lagi bila ayat tersebut ditarik dan dimaknai sebaliknya ketika suami yang melakukan pelanggaran. Apa yang harus dilakukan oleh istri? Kecuali bila dikatakan bahwa ayat ini hanya untuk suami maka tertutup kemungkinan seorang istri untuk melakukan usaha perbaikan keutuhan rumah tangganya. Atau setidak-tidaknya perempuan tidak memiliki tuntunan yang langsung diberikan oleh Al-Quran. Sementara dalam waktu yang bersamaan ayat menyebutkan bahwa suami istri saling menutupi yang lain. Keduanya punya hak yang sama. Dan bila dipahami bahwa cara ini untuk keduanya (baca: suami dan istri) maka jelas sangat naif sekali memaknai memukul untuk istri kepada suami. Oleh karenanya, aturan bagaimana seorang suami atau istri dalam usaha untuk menjaga keutuhan rumah tangganya ketika melihat salah satu melakukan tindakan menyimpang adalah: (1) Menasihati, (2) Pisah ranjang, dan (3) Mengacuhkan.
Ketiga cara ini adalah tuntunan yang diberikan oleh Alah dalam Al-Quran sebagai salah satu bentuk kontrol sosial dalam keluarga. Kontrol sosial yang ditekankan kepada kedua belah pihak, tidak diperuntukkan hanya kepada suami saja. Di sini, mengacuhkan pada tahapan ketiga dapat mengambil bentuk yang sesuai dengan kondisi yang ada. Untuk suami, Rasululah saw memberikan jalan keluar dengan tidak memberikan nafkah sehari-hari kepada istri.
Ada sebuah hadis yang menarik dan dapat dipakai untuk memaknai kata ‘dharaba’ dalam ayat tanpa mengartikannya dengan memukul. Namun mengacuhkan istri dengan tidak memberikan nafkah lahiriah. Setelah pada tahap sebelumnya telah mengacuhkannya dengan pisah ranjang. Rasululah saw bersabda, ‘Aku heran terhadap seorang yang memukul istrinya. Dialah yang semestinya lebih layak untuk dipukul. Jangan kalian memukul istri kalian dengan kayu karena akibatnya adalah kalian akan diqisas. Kalian dapat memutuskan untuk tidak memberikan istri kalian nafkah sehari-harinya. Perbuatan lebih bermanfaat bagi kalian di dunia dan di akhirat’.[9][10]
Dalam hadis di atas ternyata Nabi Muhammad saw tidak memperbolehkan kepada seorang suami untuk memukul istrinya dan malah menggantikannya dengan tidak memberikan nafkah sehari-harinya. Karena dari satu sisi, dapat menahan dan memperbaiki perilaku istri dan yang lebih penting lagi adalah tanggung jawab di hadapan Alah nantinya lebih ringan.
Seandainya kita bersikeras untuk tetap memaknai kata ‘dharabu’ dengan arti memukul maka yang perlu diketahui bahwa itu tidak wajib. Memukul istri bukan sebuah kewajiban ketika tahapan kedua telah dilalui. Mengapa demikian? Karena setidak-tidaknya Nabi memberikan satu contoh lain memperlakukan istri dengan tidak memberikan nafkah sehari-harinya. Artinya, makna memukul bukan satu-satunya makna yang dimiliki oleh kata ‘dharabu’ dalam ayat 34 surat An-Nisa’ di atas. Sangat mungkin sekali bahwa pada suatu kesempatan untuk mengembalikan istri ke pangkuan suami dengan cara memukul dan pada suatu kesempatan lain dengan tidak memberikan nafkah sehari-harinya atau mengacuhkannya.
Rujukan:
[1] . Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. (makna ini dari Depag sendiri. –pen)
[2] . Terjemahan ini diambil dari terjemahan DEPAG dalam Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Dept. Agama RI Pelita V/Tahun III/1986/1987. Dicetak oleh PT. Serajanya Santra.
[3] . QS. 14:24.
[4] . QS. 4:94.
[5] . QS. 16:74.
[6] . QS. 24:31.
[7] . Dalam kaidah ilmu usul fikih dikenal dengan hujjiah zuhur yang berarti bahwa sebuah kata bila memiliki makna yang beragam maka pemaknaan kata tersebut adalah yang biasa dipakai dan yang paling pertama tersurat dalam benak pendengar.
[8] . QS. 4:19.
[9] . Mirza An-Nuri, Mustadrak Al-Wasail, jilid 14, hal 250, cetakan Muassasah Alul Bayt. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 103, hal249, hadis ke 38, cetakan Teheran.
[10] . Hadis ini menurut para ilmuwan hadis dan rijal dianggap dapat dipercaya (muwatssaq) bahkan oleh sebagian yang lain menyebutnya sahih. Dengan demikian hadis-hadis yang menyebutkan memukul perempuan dengan ungkapan ‘Al-Madhrab bis Siwak’ yang berarti memukul dengan kayu siwak menjadi lemah.Pertama dari sisi sanad karena hanya diriwayatkan oleh At-Thabarsi dalam bukunya Majma’ Al-Bayan. Dan yang kedua, dari sisi matan. Hal ini dikarenakan ulama ketika sampai pada hadis-hadis seperti ini kemudian memberikan penafsiran lain tidak seperti apa adanya.Seperti disebutkan oleh Syahid Ats-Tsani bahwa yang dimaksud memiliki hikmah berhubungan seks karena memukul sangat tidak mendidik. Begitu juga Marhum Al-Bahrani dalam bukunya Al-Hadaiq, jilid 24, hal 617.
Sumber: Blog Saleh Dan Emi
Adalah sama sekali salah besar apabila umat Islam berpendapat dan mengatakan bahwa kitab suci nabi Muhammad sesuai Al Baqarah (2) ayat 2 yang didalamnya terdapat Al Quran sesuai Al Waaqi’ah (56) ayat 77-79, memiliki multi tafsir sebagamana terjadi sampai sekarang dianataranya tafsir Al Manar, tafsir Jalalain, tafsir lain dan sebagainya yang banyak itu.
Al Kitab Suci yang dibawa oleh Nabi Suci memiliki hanya tafsir tunggal atau tafsir ahad yaitu dengan cara menunggu-nunggu datan tidak melupakan:
1. Al A’raaf (7) ayat 52,53:
Datangnya Allah dengan Hari Takwil Kebenaran Kitab.
2. Fushshilat (41) ayat 44:
Datangnya Allah menjadikan Al Quran dalam bahasa asing ‘Indonesia’ selain dalam bahasa Arab.
3. Thaha (20) ayat 114,115:
Datangnya Allah menyempurnakan pewahyuan Al Quran berkat do’a ilmu pengetahuan agama oleh umat manusia.
4. Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22:
Datangnya Allah membangkitkan semua manusia dengan ilmu pengetahuan agama.
5. Ali Imran (3) ayat 81,82,83,85, Al Maidah (5) ayat 3, Al Hajj (22) ayat 78, Al Baqarah (2) ayat 208:
Datangnya Allah menyempurnakan agama disisi Allah adalah Islam menjadi Agama Allah.
6. An Nashr (110) ayat 1,2,3:
Datangnya Allah menciptakan Agama Allah sebagai wadah manusia bermacam-macam agama mesuk berbondong-bondong masuk kedalamnya dengan perdamaian Madinah Hudaibiiyah zamani.
7. At Taubah (9) ayat 97:
Kesemuannaya itu diturunkan Allah di Negara Kesataun Republik Indonesia berfahsafah Panca Sila pada awal millennium ke-3 masehi dan PASTI penolaknya adalah orang-orang yang kearab-araban.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
kabener wae atuh neangan teu kapanggih nanaonan atuh bijkin pusig ajh
Untuk lebih jelasnya hal-hal tersebut, dan menyelesaikan perselisihan persepsi antara agama dan didalam agama yang telah terpecah-belah menjadi 73 firqah sesuai Ar Ruum (30) ayat 32, Al Mu’minuun (23) ayat 53,54 dan Yudas 1:18,19,20,21, kami telah menerbitkan buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
berikut 4 macam lampiran panduan:
“SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agama-agama selama 25 tahun oleh:
“SOEGANA GANDAKOESOEMA”
dengan penerbit:
“GOD-A CENTRE”
dan mendapat sambutan hangat tertulis dari:
“DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” DitJen Bimas Buddha, umat Kristiani dan tokoh Islam Pakistan.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Buku Panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
I. Telah diserahkan pada hari Senin tanggal 24 September 2007 kepada Prof. DR. ibu Siti Musdah Mulia, MA., Islam, Ahli Peneliti Utama (APU) Balitbang Departemen Agama Republik Indonesia, untuk diteliti sampai mendapat keputusan menerima atau menolak dengan hujjah, sebagaimana buku itu sendiri berhujjah.
II. Telah dibedah oleh:
A. DR. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, Islam, Presiden Republik Indonesia ke-4 tahun 1999-2001.
B. Prof. DR. Budya Pradiptanagoro, Penghayat Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dosen FIPB Universitas Indonesia.
C. Prof DR. Usman Arif, Konghucu, dosen Fisafat Universitas Gajah Mada.
D. Prof. DR Robert Paul Walean Sr., Pendeta Nasrani, sebagai moderator, seorang peneliti Al Quran, sebagaimana Soegana Gandakoesoema meneliti Al Kitab perjanjian lama dan perjanjian baru, keduanya setingkat dan sederajat dengan Waraqah bin Naufal bin Assab bin Abdul Uzza, 94 tahun, Pendeta Nasrani, anak paman Siti Hadijah 40 tahun, isteri Muhammad 25 tahun sebelum menerima wahyu 15 tahun kemudian pada usia 40 tahun melalui Jibril (IQ).
Pertanyaannya yang sulit untuk dijawah akan tertapi sangat logis dan wajar untuk dipertanyakan adalah, Siti Hadijah 40 tahun dan Muhammad 25 tahun, sebelum turun wahyu adalah orang baik, patonah, sidik, amin dan lain sebagainya, kemudian keduannya menikah dengan cara ritual agama apa dan mereka beragama apa ?
E. Disaksikan oleh 500 peserta seminar dan bedah buku dengan diakhiri oleh sesi dialog tanya-jawab.
Apabila waktu tidak diabatasi, akan mengulur panjang sekali, disebabkan banyaknya gairah pertanyaan yang diajukan oleh para hadirin.
Pada hari Kamis tanggal 29 Mei 2008, jam 09.00-14.30, tempat Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, jl. Salemba Raya 28A, Jakarta 100002, dalam rangka peringatan satu abad (1908-2008), kebangkitan nasional “dan kebangkitan agama-agama (1301-1401 hijrah) (1901-2001 masehi), diacara Seminar & Bedah Buku hari/tanggal: Selasa 27 Mei - Kamis 29 Mei 2008, dengan tema merunut benang merah sejarah bangsa untuk menemukan kembali jati diri roh Bhinneka Tunggal Ika Panca Sila Indonesia.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.