Kamis, 05 Maret 2009

Fikih Mawaddah


Ditulis pada oleh kajianislam

Kamis, 26 April 2007

Fikih Mawaddah

Sofjan S Siregar

Dosen Islamic University of Europe Rotterdam, Ketua ICMI Orwil Eropa

Dalam setiap diskusi tentang Islam di Eropa khususnya di Belanda pertanyaan selalu didominasi isu sentral sekitar sejauh mana Islam mampu bertahan mengklaim agama yang kompatibel dengan segala waktu dan semua tempat. Sementara Alquran sendiri menyebutkan dalam Surat An Nisa ayat 34 bahwa seorang suami bukan hanya dibolehkan, bahkan disuruh agar jika perlu memukul istri yang dianggap membangkang terhadap suami. Isu ‘pukul istri’ ini juga mendominasi acara diskusi ICMI Orwil Eropa akhir Maret 2007 bekerja sama dengan Universitas Islam Eropa Rotterdam di Belanda.

Seorang nara sumber menyulut isu kontroversial ini dengan membenarkan fatwa kebolehan suami memukul istri dalam upaya mencari solusi keutuhan rumah tangga dalam Islam sesuai ajaran dan petunjuk Alquran.

Kecaman dan reaksi keras tidak bisa dibendung. Hampir semua organisasi wanita dan emansipasi serta HAM di Belanda protes. Isu itu dianggap melecehkan wanita. Lebih jauh lagi seorang anggota parlemen Belanda yang anti-Islam dari Partai Van Vrijheid (PVV alias Partai Kebebasan) G Wilders mengusulkan dalam wawancara di TV Belanda beberapa waktu lalu, agar Muslim yang ingin tinggal menetap di Belanda harus merobek separuh Alquran. Suatu reaksi yang berlebihan akibat ketidaktahuan dan xenophobia politiknya yang sangat anti orang asing di Belanda. Akhirnya setelah diprotes keras oleh umat Islam, pernyataan Wilders ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat Belanda.

Fatwa membolehkan pukul wanita dihadapkan pada tantangan eksternal dan internal. Di satu pihak, keganasan media massa menyosialisasikan Islamophobia semakin lempang, brutal dan menjadi-jadi khususnya di Eropa, sebagai tantangan external. Sedangkan di pihak lain muncul kecendrungan sebagian intelektual Muslim yang mengumbar fatwa kurang akurat jika ditinjau dari perspektif Islam. Ijtihad para intektual ini lebih bernuansa politik ketimbang ijtihad fiqih syar’i. Fatwa semacam itu sangat mendiskreditkan citra Islam yang berkarakter harmonis, sejuk, damai dan rahmat buat seluruh manusia, termasuk wanita.Meluruskan persepsi

Upaya yang digalakkan umat Islam di Eropa melawan Islamophobia, akan terganggu dan semakin kabur dengan tersiarnya fatwa pelecehan HAM semacam ini. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan bahwa Islam tidak pernah menoleransi pemukulan dan penganiayaan terhadap siapa pun termasuk istri sendiri.

Kata dhorb dalam Surat An Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tapi harus diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadis secara komprehensif sesuai norma maqasidissyariah (tujuan syariah). Kenapa? Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunah Nabi dan mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina, menganiaya atau memukul istri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan perkawinan, tapi juga melanggar prinsip dasar HAM.

Nabi sangat mengecam tindakan suami yang memukul istri dalam hadisnya, “Bagaimana Anda pukul istri Anda seperti memukul budak padahal setelah itu Anda tidur bersama istri, apakah anda tidak malu?” Kedua calon suami dan isteri tidak dipaksa untuk maju ke lembaga perkawinan, sehingga konsekuensinya, mereka tidak bisa saling memaksakan kehendak. Kelangsungan lembaga perkawinan yang suci dan mulia ini memang harus dipelihara. Namun jika tidak memungkinkan dan tidak tercapai solusi yang memuaskan dua pihak, status lembaga perkawinan bukanlah mutlak dan harga mati yang harus dipertahankan sampai pisah mati, seperti yang terdapat dalam agama lain. Islam membolehkan cerai hidup, jika memang terpaksa. Artinya, bila ternyata di antara suami dan istri tidak ada sakinah, mawaddah, dan rahmah, seorang suami boleh cerai dari istri dengan cara baik seperti kata Alquran, “Lanjutkan perkawinan dengan cara baik atau cerai dengan cara gentlemen.”

Pendekatan dan meyakinkan istri dengan cara memukul tidak akan melahirkan bahagia. Andaikan sang istri berubah menjadi baik setelah dipukul oleh suami, tentu hanya secara zahir, karena bagaimanapun juga aksi dan tindak pemukulan itu sangat melukai hatinya. Sehingga pilar sakinah dan mawaddah akan cacat yang akhirnya juga kehidupan rumah tangga akan hancur.

Demikian pula sang istri juga tidak perlu memukul suami atau melakukan tindakan kekerasan lain. Istri bisa dan boleh keluar dari lembaga perkawinan dengan mengambil inisiatif untuk cerai dari suami dengan membayar ta’widh. Tidak satu hadispun yang membolehkan memukul istri. Dalam Alquran juga tidak ditemukan ayat yang membolehkan memukul istri. Adapun ayat 34 Aurat An Nisa yang selalu dijadikan rujukan oleh sebagian orang, perlu di terjemahkan secara akurat sesuai dengan norma dan prinsip tafsir. Menerjemahkan kata dhorb dalam ayat tersebut dengan memukul adalah hal yang perlu penjelasan lanjutan. Karena petunjuk Alquran sangat jelas bahwa untuk memukul atau mencambuk selalu dipakai kata jild seperti hukuman bagi orang yang menuduh berzina tanpa adanya empat saksi dicambuk 80 kali.

Dalam terjemahan Alquran dari Depag kita temukan sebagai berikut, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka (An Nisa ayat 34). Secara umum terjemahan Alquran Depag telah membantu umat Islam memahami kitab sucinya, namun khusus ayat 34 surat An Nisa, Tampaknya Depag harus meninjau ulang terjemahannya. Kenapa? Karena kata kerja dhorb mencakup multimakna yang harus disesuaikan dengan ayat dan dalil naqli yang terkait secara utuh. Ada 18 bentuk pemakaian kata dhorb dalam Alquran, semuanya bermakna i’tizal (mengasingkan/isolasi diri), almufaraqah (memisahkan), dan at tark (meninggalkan). Kita ambil contoh dalam surat An Nisa ayat 101, “Wa iza dhorobtum fil ardhi falaisa alaikum junahun an taqsuru minas sholati (Dan apabila kamu bepergian (dharabtum) di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu). Kata dhorobtum tidak mungkin diterjemahkan memukul di bumi.

Karena adanya konsep khul’u (perceraian yang inisiatifnya muncul dari sang istri) dalam lembaga perkawinan, maka menerjemahkan dhorb dengan memukul semakin kurang relevan dalam ayat 34 Surat An Nisa untuk menyelesaikan cekcok rumah tangga. Masing-masing pihak punya hak untuk tetap lanjut bersama atau pisah dari kehidupan rumah tangga.

Teladan Nabi

Hal ini diperkuat oleh sunnah fi’liyah (praktik Nabi) Rasulullah SAW ketika rumah tangganya mengalami tantangan disharmonisasi dari beberapa istrinya. Nabi tidak melakukan pemukulan pada istrinya, tapi dia meninggalkan istrinya berhijrah rumah selama sebulan ke tempat lain. Padahal Surat An Nisa ayat 34 waktu itu sudah turun.

Dua tahapan sudah dilakukan oleh Nabi yaitu menasihati dan pisah ranjang tapi tetap satu rumah. Tahapan terakhir untuk menjaga kesinambungan dan keutuhan rumah tangga adalah i’tizal atau ib’ad atau hijrah pisah rumah selama sebulan. Ternyata cara ini ampuh. Para istrinya kembali biasa, rumah tangga Nabi kembali utuh.

Seandainya memukul adalah suatu opsi, tentu Rasulullah adalah orang yang pertama harus melakukannya sebagai contoh dalam segala bentuk perintah yang ada dalam Alquran. Namun Nabi tidak pernah melakukannya. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa beliau tidak pernah memukul pembantu dan istrinya. Beliau tidak pernah menyuruh untuk memukul istri apalagi melakukan tindakan penghinaan.

Contoh keteladanan Nabi dalam menyelesaikan konflik rumah tangga ini merupakan fikih mawaddah yang harus disosialisasikan oleh para intelektual Muslim dalam upaya membasmi kesalahpahaman terhadap ajaran sejati Islam dan mengeliminasi Islamophobia.

Ikhtisar
- Ajaran Islam adalah kompatible dengan segala waktu dan tempat.
- Fikih mawaddah melarang suami menghina atau memuku istri.
- Tidak ada rujukan juridis syar’i yang membolehkan apalagi menyuruh untuk memukul wanita baik dalam Alquran ataupun hadis.
- Sebaiknya, Departemen Agama merevisi terjemahan salah pada Alquran yang menyangkut HAM kehidupan rumah tangga dalam Surat An Nisa ayat 34

Sumber: Harian Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar