Dimanakah Sebenarnya Allah ?
Dimanakah Sebenarnya Allah ?
Dalam kutipan ayat-ayat kitab suci Al-qur’an sering disebutkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Allah di langit. Selain itu masyarakat awam juga sering mengatakan Allah ada di mana-mana, hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa Allah berpindah-pindah dan/atau lebih dari satu, padahal Dia bersifat Esa, Ghaibal Ghuyub dan Ghaibal Kubra.
Mengenai pemahaman apa itu sebenarnya ‘Arsy dan “langit” ini, hendaknya kita harus lebih hati-hati dan teliti. Jangan sampai kita jatuh terjebak pada kebiasaan selama ini, sehingga tanpa tanpa kita sadari sebentar-sebentar dengan mudah dan cepat kita selalu mengatakan bahwa sesuatu (ini dan itu) adalah termasuk bid’ah hanya karena menurut kita sesuatu itu tidak ada contohnya dari Rasul SAW, yang mungkin saja hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi yang kita terima maupun pemahaman kita terhadap ayat-ayat Allah, Kalam Allah, dimana dalam memahamkannya hanya bersandarkan pada akal logika semata. Akan lebih baik bilamana kita ketahui dulu ilmunya secara kaffah (menyeluruh, lengkap) dan benar, jangan menafsirkan ayat sepotong-sepotong, namun suatu ayat harus dijelaskan oleh ayat yang lain (ayyatun mubayyinatun).
Bahwa istilah “langit” bukan hanya melukiskan alam fisik saja tetapi keseluruhannya, dari alam terendah sampai tertinggi, dari alam ghaib sampai alam maha ghaib. Istilah “langit” digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang ghaib, dan bukan melulu alam fisik.
Alqur’an di dalam mengungkapkan suatu masalah yang konkrit, misalnya hukum rajam, hukum jinayat, hukum waris, hukum syariat mu’amalat, dijelaskan dengan kalimat yang bukan majaz, yaitu muhkamat artinya sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi, seperti shalatlah kamu, bayarlah zakat, dst. Akan tetapi kalau sudah mencakup persoalan ghaib, misal: tentang Allah, rahasia langit, peralatan akherat, syurga, dan neraka, dll; serta perasaan, maka Alqur’an menggunakan kalimat perumpamaan (metafora), yang biasa disebut mutasyabihaat.
Ada kelemahan bahasa manusia jika mengungkapkan rasa dan sesuatu yang ghaib, sehingga Baginda Rasulullah SAW ketika menjelaskan masalah syurga-pun tidak menjelaskan keadaan sebenarnya. Beliau hanya memberikan gambaran bahwa syurga itu indah dan nikmat, di bawahnya ada air susu dan madu mengalir, ada buah-buahan, korma, anggur dll, setelah itu beliau memberikan penjelasan bahwa keadaan syurga itu tidak pernah terdengar oleh telinga, tidak bisa terbayangkan oleh pikiran, dan tidak pernah terlintas di hati. Artinya bukan seperti apa yang digambarkan oleh Rasulullah (lihat gambaran syurga antara lain dalam surat Yaasin ayat:55-57).
Bagaimana Rasulullah akan menjelaskan sesuatu, atau keadaan yang di dunia ini tidak ada. Bagaimana beliau akan memperbandingkan sesuatu yang tidak ada di dunia. Apa jadinya kalau syurga itu seperti apa yang telah kita bayangkan tadi? Mirip dengan apa yang kita rasakan? Hal ini juga terjadi kepada kita, ketika dihadapkan persoalan ungkapan rasa misalnya, hatiku telah bersemi lagi, atau mendidih rasa hatiku tatkala melihat dia, atau perampok itu tergolong pembunuh berdarah dingin; dan banyak lagi ungkapan rasa yang tidak tertampung dan terwakili oleh kosa kata bahasa verbal.
Sebagaimana rasa manis yang ada pada gula tidak bisa diceritakan kalau kita tidak mengalaminya sendiri mencicipi gula itu. Kalau kita mencoba menafsirkan ungkapan rasa itu dengan logika atau akal maka akan terjadi kesalahfahaman yang pasti akan menyimpang, sehingga wajarlah Rasulullah SAW tidak pernah menafsirkan atau memberikan keterangan hal tersebut berupa ‘footnote’ dalam Alqur’an, sebab para muridnya yaitu sahabat sudah mengerti maksudnya tanpa harus mencoba-coba menafsirkan sendiri. Misalnya lagi pada hal yang sangat sederhana ada orang berkata “Saya mau pergi ke rumah sakit” pasti kita tidak akan mengernyitkan mata karena bingung. Jangan ditafsirkan dengan mengatakan “rumah yang sakit”.
Begitu pula tentang keberadaan Allah bahkan wujud Allah. Allah mempergunakan kalimat mutasyabihat dalam menerangkan keadaan diri-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-Araf : 54)
” … Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An Nur: 35)
” … hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku Ciptakan dengan kedua tangan-Ku …” (QS. As Shaad:75)
“maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua hari…” (QS. Al Fushilat 12)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat …” (QS. Al Baqarah :186)
“.. dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (QS. Qaaf:16)
” … ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu” (QS. Al Fushilat 54)
” … kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah .. “(QS. Al Baqarah:115)
Sangat jelas bagi kita, bahwa ungkapan-ungkapan mutasyabihat di atas, dimengerti bukan untuk ditafsirkan, melainkan sebagai batasan fikiran melalui konsepsi manusia. Bukan hal yang sebenarnya, sebab Allah tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS. As syura: 11), bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata manusia dan tidak bisa dijangkau oleh fikiran manusia.
Bukankah syirik, untuk memberikan tafsiran yang menggambarkan bahwa Allah memerlukan singgasana (’Arsy) dan juga seakan-akan Allah sesudah membuat langit dan bumi berserta isinya naik kembali ke tahta-Nya? Kalau Allah memerlukan singgasana (’Arsy) berarti Allah bertempat? Alangkah anehnya, jika dikatakan Allah dalam menciptakan iblis menggunakan kedua tangan-Nya, dan dikatakan Allah mempunyai wajah?
Allah mentasybihkan dan meminjam kata-kata yang dimiliki manusia untuk memudahkan berdialog dan memberikan pengertian dalam bentuk bahasa manusia dan ilmu, sebab kalau kita menterjemahkan dengan kata sebenarnya maka akan ada benturan-benturan yang saling bertentangan.
Kurang tepat bila dikatakan kalau Allah ada di mana-mana, walaupun difirmankan “….kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. Juga tidak pula bisa dikatakan bahwa Allah berada di langit atas sana sehingga kita menunjuk ke arah atas atau ketika kita berdoa kita menengadahkan tangan kita ke atas sambil di benak kita beranggapan bahwa Allah seolah-olah ada di langit di atas nun jauh di sana. Sekali lagi kalau dikatakan Allah di langit di atas sana berarti Allah bertempat di langit dan kalau demikian jadinya berarti selain di langit apakah tidak ada Allah? Sehingga hakikat langit yang sebenarnya bukanlah berupa alam fisik, seperti dzan (persangkaan) kita selama ini. Dia maha meliputi segala sesuatu.
Lalu dimanakah Allah ?
Berdasarkan ilmu tauhid, aqoidul iman, Allah dikatakan adalah seru sekalian alam, meliputi segala sesuatu, karena tak ada sesuatupun yang tidak diliputi oleh-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Lihat kembali QS. Al Baqarah : 186, QS. Qaaf:16, QS. Al Baqarah:115, dan QS. Al Fushilat 54 di atas. Ketertutupan atau terhijabnya hati kita atas keberadaan Allah disebabkan ketidaktahuan dan sangkaan (dzan) kita akan Allah yang keliru. Hijab adalah tirai penutup, di dalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya. Hati tidak mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah yang ada di dalam dada tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia seolah-olah akan selalu merasa berada jauh dari Allah, kita di bumi dan Allah di atas langit, dalam keragu-raguan atau was-was.
Mudah-mudahan kita diberi kefahaman atas ilmu-ilmu-Nya yang tersembunyi maknanya. Amiin.
Last Updated ( Monday, 05 February 2007 )
SUMBER: Tajularifin.org
Syukur al hamdulillah, dengan adanya kajian Islam Tasawwuf yang dapat diakses langsung oleh kaim muslimin, mudah-mudahan dapat menambah pemahaman yang luas tentang tasawwuf. Dan saya sangat berterimakasih, bila setiap kajian yang aktual (artikel) tentang tasawwuf dapat dikirimkan ke mail saya. Syukron katsir.
ini baru top
Ketika disebut Nama Allah: Yang Maha Esa, mereka introspeksi apakah betul mereka telah mengEsakan Allah..sehingga sadar bahwa Allah itu tak ada satupun yang menyamaiNya dalam segala hal.
Ketika disebut Nama Allah: Yang Maha Berdiri Sendiri, mereka introspeksi apakah betul mereka meyakini bahwa Allah tak perlu sesuatu apapun…
sehingga sadar bhw Allah tak butuh pembelaan..
kitalah yang butuh kepada Allah.
Theori penjelasan manusia tentang Isro-mikraj sesuai Al Isro (17) ayat 1 dan An Najm (53) ayat 1-62 (tentang Allah diangkasa raya) bertentangan dengan Qaaf (50) ayat 16 (Allah berada lebih dekat dari urat nadimu berarti ada pada dirimu dan yang benar ayat ini dan jangan ditambah selama kamu masih hidup).
Oleh kerena itu carilah theori Isro-mikraj itu yang sebenarnya menurut akal, jangan Indonesia diperbodoh oleh pendapat timur tengah.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Nur di atas Nur adalah sesuatu yang harus di kaji lagi untuk mendatang.
Terima kasih saudara ku, ada beberapa kesamaan pemikiran yang ada di antara kita semua.
Kosong itu berisi, berisi itu kosong. Kata gurunya sung go kong.
Mengakui Ketiadaan kita berarti mengakui keberadaan NYa.
dan mengakui keberadaan kita berarti kita mengakui Kebodohan kita. Astaghf…
Selamat Berjuang sampai darah penghabisan.
Assalamu’alaikum Wr, Wb
Saya sangat setuju dengan apa yang anda Uraikan Bahwa Allah tidak bertempat akan tetapi meliputi setiap tempat.
Wassalam
Pengembara Jiwa
Silahkan kunjungi Blog Saya.
Assalamualaikum Wr WB
Mohon dimasukan dalam format PDF dan dalam ukuran cetak yang lebih menarik agar bisa di cetak dan di informasikan .
Mungkin bisa ditempel pada papan pengumuman Masjid agar lebih manfaat dan lebih mencerahkan.
wasalam dan terimakasi
____________________
-kajian Islam-
Assalamu alaikum wr. wb.
Terima kasih masukannya mas, tolong kalo bisa kami diberitahu bagaimana membuat format PDF. makasi sebelumnya.