Seperti diketahui, puteri Rasulullah saaw. yang bernama Fatimah az Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu. Mereka bukanlah termasuk keluarga yang kaya. Fatimah sendiri adalah satu-satunya puteri Nabi yang mendampingi ayahnya dalam seluruh perjuangan beliau di dalam menyebarkan agama Islam.
Fatimah menyaksikan dengan kedua matanya ketika ayahnya dimusuhi dan dianiaya kaum kafir Quraisy. Dialah yang membersihkan kotoran unta yang sengaja diletakan oleh kaum kafir itu di punggung Rasulullah ketika beliau sedang shalat. Ia pula yang menyambut ayahandanya yang tercinta ketika beliau kembali dari berdakwah di kota Tha’if dalam keadaan kepalanya berdarah akibat lemparan batu penduduk Tha’if yang tak mau beriman. Setiap kali Rasulullah hendak berangkat berperang, Fatimah senantiasa menyiapkan segala perbekalan yang diperlukan ayahnya.
Suatu kali, Rasulullah saaw, dan kaum Muslimin tengah menggali parit perlindungan sebelum berhadapan dengan kaum Quraisy dalam suatu peperangan yang kemudian dikenal sebagai perang Khandaq (Perang Parit). Parit-parit itu sengaja dibuat, karena kekuatan tentara musuh jauh lebih besar daripada kekuatan tentara kaum Muslimin. Dengan parit itu, dimaksudkan agar tentara musuh tidak langsung berhadapan dengan tentara Muslimin, melainkan mereka harus terlebih dahulu melalui parit yang lebar itu sebelum menyerang. Taktik itu adalah hasil usulan dari sahabat Nabi yang bernama Salman al-Farisi.
Dalam menyelesaikan penggalian parit tersebut, tak seorang pun yang duduk termangu. Kaum Muslimin, termasuk Rasulullah saaw sendiri, bahu-membahu mengerjakannya.
Di saat seperti itu, Fatimah datang menghampiri ayahnya, kemudian menyerahkan sepotong roti kepada beliau. Melihat roti yang diulurkan puteri kesayangannya, Rasulullah berkata: “Wahai Fatimah, inilah makanan pertama yang masuk ke perut ayamu sejak tiga hari yang lalu.”
Kecntaan Fatimah kepada ayahnya tidak perlu diragukan lagi. Rasulullah pun sangat mencintai puterinya itu, sehingga seringkali beliau memuji Fatimah dengan berkata:”Fatimah adalah dari aku, dan aku adalah bagian dari Fatimah. Siapa yang membuat dia bahagia berarti membuat aku bahagia; dan siapa yang membuat dia marah, berarti membuat aku marah.”
Rausulullah saaw, juga pernah berkata kepada puterinya itu: “Sesungguhnya Allah murka karena kemarahanmu, dan ridha karena kesukaanmu.”
Imam Ali bin Abi Thalib, selaku suaminya, mengetahui benar tentang hal itu. Ia pun sangat menyayangi isterinya, sangat memperhatikannya, dan memperlakukannya dengan baik. Ia merasa diberi amanat oleh Rasulullah saaw, dengan menikahi Fatimah. Fatimah pun berbuat sama terhadap suaminya. Maka tak heran apabila keluarga yang sangat serasi.
Tentang kecintaan dan perhatian Imam Ali terhadap isterinya itu, dapat dilihat dengan mudah dari suatu peristiwa yang pernah terjadipada masa itu.
Suatu hari, Fatimah r.a.jatuh sakit. Imam Ali menjadi sedih, turut merasakan sakit yang diderita istrinya. Tak henti-hentinya ia menengok Fatimah, bahkan berhari-hari tak beranjak dari sisinya. Ia menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan Fatimah, dan menggantikan tugasnya selama ia sakit.
“Beristirahatlah, wahai Fatimah, agar sakitmu segera hilang,” kata Imam Ali kepada isterinya.
“Aku telah cukup beristirahat, sampai-sampai aku malu apabila melihatmu mengerjakan tugas-tugas seorang ibu,” jawab Fatimah dengan sura lirih.
“Jangan pikirkan itu. Bagiku semua itu sangat menyenangkan. Lagi pula, setelah engkau sembuh nanti, semua tugas, engkaulah yang akan mengerjakannya.”
“Tapi, sudah terlalu lama rasanya engkau menggantikan pekerjaanku…”
“Jangan pikirkan itu, kataku. Aku melakukan segalanya dengan senang hati. Percayalah…”
Engkau sungguh suami yang mulia…”
Fatimah berkata sambil matanya berkaca-kaca.
“Wahai …adakah engkau menginginkan sesuatu?”tanya Imam Ali dengan tiba-tiba.
Fatimah terdiam sebentar, kemudian berkata: “Sesungguhnya sudah beberapa hari ini aku menginginkan buah delima.”
“Baiklah, aku akan membawakannya untukmu dengan rezeki yang diberikan Allah kepadaku,” kata Imam Ali, sambil bersiap keluar rumah. Tanpa membuang waktu, Imam Ali langsung berangkat menuju pasa, meskipun dengan uang pas-pasan. Dan sesampainya di pasar, ia pun langsung memberi sebuah delima, karena uangnya memang hanya cukup untuk sebuah delima, tidak lebih!
Di tengah perjalanan pulang, Imam Ali melihat seorang miskin duduk meringkuk di sudut jalan. Orang itu tampak menggigil dan tubuhnya lemah, menunjukkan bahwa ia sedang sakit. Imam Ali tak sampai hati melihatnya. Ia berhenti, menyampaikan salam dengan ramah, kemudian bertanya kepada orang itu: “Wahai sahabat, kenapakah gerangan engkau?” Mendengar suara, orang itu mengangkat kepalanya perlahan, dan matanya memandang Imam Ali dengan lemah. Ia pun menjawab salam Imam Ali, kemudian berkata:”Sesungguhnya tubuhku terasa dingin, dan badanku serasa tak bertenaga.”
“Sakitkah engkau?” tanya Imam Ali lagi.
“Begitulah kiranya. Sudah sejak dua hari lalu perutku tak kemasukan makanan apa pun,”jawab orang itu dengan suara parau.
Astaghfirullah…,”Imam Ali tercengang. Ia terdiam sejenak, memotong buah delima yang dibawanya, kemudian berkata: “Tabahkanlah hatimu. Percayalah bahwa Allah tak akan melupakan hamba-Nya yang baik. Bertasbihlah kepada Allah, dan ambillah buah ini, semoga dapat meringankan penderitaanmu.”
Orang itu pun mengambil sepotong buah delima tersebut dari tangan Imam Ali, kemudian bertasbih, bertakbir, dan bersyukur kepada Allah. “Subhanallah..Alhamdulillah
Allahu Akbar…Mahabesar Engkau ya Allah…” Dan ia pun makan buah delima itu dengan senyum penuh syukur.
Sesampainya di rumah, delima yang tinggal sepotong itu diserahkan kepada isterinya. Fatimah merasa heran melihat buah delima yang hanya sepotong itu. Ia bertanya kepada suaminya: “Adakah penjualan buah ini menjualnya sepotong untukmu?”
“Tidak,”kata Imam Ali.”Sesungguhnya aku membelinya sebuah. Di tengah perjalanan pulang, aku mendapati seorang miskin yang telah dua hari tak makan apa-apa. Aku memberikan sepotong delima ini kepadanya. Alhamdulillah, tampaknya ia mulai sehat kembali sesudah itu,” sambung Imam Ali menjelaskan.
Setelah semuanya jelas, Fatimah pun mulai menikmati buah delima yang baru dibeli dari pasar itu. Dan…sebagaimana si miskin, kondisi Fatimah mulai membaik sesudahnya. Suami Istri itu sangat gembira.
Masih diliputi kegembiraan karena keadaan Fatimah yang makin membaik, tiba-tiba mereka mendengar suara pintu rumah mereka diketuk orang. Segera Imam Ali membukakan pintu, dan didapatinya yang datang adalah Salman al-Farisi. Salman datang sambil di tangannya membawa sesuatu yang ditutup kain.
“Assalamu’alaikum.”
“wa ‘alaikum salam,” jawab Imam Ali.
“Apakah yang engkau bawa itu wahai Salman?” tanya Imam Ali selanjutnya.
“Delima,”jawab Salman.
“Dari manakah engkau dapatkan?”
“Dari Allah, untuk Rasul-Nya, dan seterusnya untuk Anda,” jawab Salman lagi sambil membuka penutup delima itu oleh Imam Ali. Tapi Imam Ali segera bertanya:”Berapakah jumlahnya?”
“Sembilan buah,”jawab Salman.
Mendengar jawaban Salman, Imam Ali kemudian berkta:”Tidak! Tidak mungkin buah itu dari Allah. Kalau benar dari Allah, maka jumlahnya adalah sepuluh. Sebab Allah telah berfirman: Barangsiapa berbuat baik, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali lipat. (Q.S. 6:160)
Mendengar kata-kata Imam Ali tersebut, sambil tersipu Salman mengeluarkan satu buah delima lagi dari balik lengan bajunya sambil berkata:”Anda benar. Sesungguhnya yang aku bawa adalah sepuluh.”
Imam Ali tersenyum. Ia kemudian berkata sambil masih menahan senyumnya: “Wahai Salman, sesungguhnya engkau adalah sahabat dekatku. Aku mengerti, demi Allah, bahwa engkau tak bermaksud mengambil buah itu untuk kepentinganmu. Engkau bermaksud menguji diriku, bukan?”
Dengan tersipu Salman pun menjawab:”Demi Allah, tak terlintas dalam pikiranku untuk mengambil buah itu bagi diriku. Sebenarnyalah, aku bermaksud mengujimu, karena begitu seringnya aku mendengar Rasulullah memuji keluasan ilmu dan kecerdasanmu.”
“Ketahuilah wahai Salman, bahwa Allah akan membimbing siapa saja yang dekat dan berbakti kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas,”kata Imam Ali sambil menyerahkan sebuah delima kepada Salman, dan ia membawa masuk ke dalam rumah sisanya yang sembilan buah, setelah Salman permisi pulang.
Sesampainya di dalam, Imam Ali meletakkan buah-buah delima itu di hadapan isterinya. Fatimah terkejut, dan setengah berteriak ia berkata:
“Masya Allah…dari menakah gerangan engkau dapatkan delima sebanyak ini?”
Imam Ali pun menjawab dengan tersenyum: “Allah mengaruniai rezeki ini kepada kita karena kebaikan yang kita lakukan kepada si miskin tadi. Salmanlah yang mengantarkannya ke sini.”
Alhamdulillah.
BalasHapus