Barangkali tidak salah kalau saya katakan bahwa modernitas telah menggelandang umat manusia ke dalam perangkap kecanggihan yang berlebih-lebihan, sehingga kesederhanaan hilang dari pemandangan. Di zaman ini, manusia memang begitu terpikat pada hal-hal yang canggih, begitu terpegun pada semua yang super dan mega. Kemanapun kita pergi, supermarket dan megamall menghadang kita dengan tampilan yang high-tech dan high-cost. Dunia modern menuntut semua orang menjadi superman dan wonderwoman.
Renjana akan segala kecanggihan dan superioritas ini selanjutnya membawa kita pada keengganan pada segala hal yang sederhana dan alamiah. Hampir seluruh aspek kehidupan kita, termasuk pola berpikir kita, terasuki hasrat akan kecanggihan dan superioritas ini. Tampaklah oleh kita bagaimana ide demi ide dikembangkan dan disajikan selaras dengan semangat mengejar kecanggihan dan superioritas. Sialnya, tidak jarang orang termakan oleh kemasan isu yang menyuguhkan kecanggihan dan superioritas, tanpa menilik lebih jauh konsekuensi-konsekuensinya terhadap kehidupan nyata.
Salah satu isu yang berhasil tampil dalam kemasan kecanggihan dan superioritas itu adalah feminisme. Feminisme, persisnya, adalah gerakan untuk menampilkan wanita secara lebih canggih dan superior–setidaknya dalam perspektif kecanggihan dan superioritas modern. Cara termudah¾dan dengan demikian juga terbodoh–wanita/istri untuk bisa tampil lebih canggih ialah dengan sesering mungkin keluar dari rumah, membaca majalah-majalah wanita dan menyerahkan pengasuhan anak pada pembantu. Sedangkan cara termudah wanita untuk bisa tampil lebih superior adalah dengan mencari uang sendiri dan berswasembada dari pria/suami.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dirancanglah sejumlah jurus. Jurus pertama adalah menghilangkan adanya perbedaan antara pria dan wanita¾untuk menuju masyarakat bebas-gender (genderless society). Jurus kedua, memberdayakan diri agar¾dalam masyarakat yang dipradugakan penuh-konflik–kaum wanita dapat “mengalahkan” pria. Soal mengalahkan pria ini, titik-tekan diberikan pada seks-bebas. Dan mengingat seks telah diidentikkan dengan kekuasaan dan seksualitas wanita dianggap lebih superior dibanding pria, maka dominasi kaum wanita di sektor ini agaknya dengan mudah dapat dikukuhkan.
Seks-bebas adalah kunci untuk melanggengkan superioritas wanita atas pria. Maka tidak heran apabila seorang feminis seperti Naomi Wolf, dalam bukunya yang berjudul Promiscuities: The Secret Struggle for Womanhood (1997), merasa bahwa “kita masih tetap belum mewarisi budaya yang menghargai dan menghormati hasrat seks wanita.” Seolah membenarkan Wolf, Kate Fillion dalam Lip Service (1996) menuliskan, “Hasrat, tampaknya, masih dianggap kata yang tak senonoh oleh banyak wanita.” Feminis lainnya, Katie Roiphe, bahkan membenci gembar-gembor histeris yang sekarang menyertai peringatan kaum pendidik kepada kaum remaja tentang AIDS dan risiko terkena penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks. Roiphe membandingkan hal ini dengan peringatan para pendeta Katolik yang pernah menyatakan bahwa masturbasi dapat menyebabkan kebutaan. Dia menyatakan bahwa peringatan seperti itu hanyalah upaya untuk menghidupkan kembali moralitas kuno dengan istilah modern, mengganti ketakutan berbuat dosa dengan ketakutan terkena penyakit. Dan akibat dari ketakutan ini adalah terenggutnya kenikmatan seksual dari para wanita muda yang dialami kaum wanita pada saat dimulainya pelampiasan hasrat seksual, untuk meredam kegairahan mereka, untuk membuat mereka…canggung.[1]
Untuk memperkukuh pelestarian dominasi wanita dalam masyarakat yang penuh-konflik, institusi keluarga perlu dirobohkan. C. Wright Mills menulis: “Insofar as the family as an institution turns women into darling little slaves and men into their chief providers and unweaved dependents, the problem of satisfactory marriage remains incapable of purely private solution.” Maka, sejak era 1980-an, gerakan feminisme Barat mengoarkan suatu slogan bahwa kaum wanita adalah golongan tertindas dalam konteks lembaga keluarga. Dalam The Intimate Environment, A. Skolnick mencatat bahwa “Some feminists denounced the family as a trap that turned women into slaves” (Beberapa feminis mendakwa keluarga sebagai perangkap yang membuat para wanita menjadi budak). [2]
Para feminis terus berupaya menghapuskan sifat feminin (feminine nature) wanita dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang nurtured (dipupuk) dan constructed (dibangun). Bahwa menjadi wanita itu bukan ketentuan kodrati, bukan takdir Ilahi dan bukan faktor alam, melainkan pilihan dan konstruksi sosial-budaya. “One is not born, but rather becomes, a woman” (Seseorang tidak dilahirkan, melainkan menjadi, wanita), kata Simone de Beauvoir dalam bukunya yang tenar itu, The Second Sex. Menurut de Beauvoir, pasangan seks Jean Paul Sartre yang dari keduanya lahir anak-haram bernama Eksistensialisme, kualitas feminin adalah kualitas yang rentan bagi wanita. Dia mengajak wanita untuk memperkuat fakultas rasionalnya demi mencapai pour-soi (subjek yang berkuasa) sebagai lawan dari en-soi (subjek penurut, penerima, pengasuh dan pemelihara). Melalui proses nurture (baca: sosialisasi yang diprogramkan menjadi pemberdayaan), aspek en-soi bisa ditekan dan dihilangkan.[3]
Menyambut gagasan Simone de Beauvoir yang nyeleneh itu, beberapa psikolog feminis memperkenalkan konsep pendidikan androgini (androgyny). Konsep ini berasal dari bahasa Latin andro (pria) dan gyne (wanita). Pendidikan androgini adalah pendidikan yang memperkenalkan konsep bebas-gender kepada anak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan konsep pendidikan konvensional yang mengasumsikan perbedaan anak laki-laki dan perempuan, konsep ini mengasumsikan bahwa anak laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi untuk menjadi feminin dan maskulin. Karena itu, menurut konsep ini, anak laki-laki dan perempuan tidak perlu diperlakukan berbeda. Anak pria tidak perlu diberikan baju tentara, mainan berupa mobil-mobilan, alat-alat permainan senjata untuk perang-perangan, sedangkan anak wanita tidak perlu diberikan baju berwarna merah jambu (pink), mainan boneka, dan alat-alat permainan untuk masak-masakan. Sebaliknya, keduanya harus diperlakukan secara sama, mengingat secara watak-dasar (nature) keduanya diasumsikan setara.[4]
Akibat langsung dari semua konsep dan rumusan setengah-matang ini adalah munculnya lapisan masyarakat setengah-jadi. Di sekolah-sekolah, di tempat-tempat umum dan di media massa, kita menyaksikan munculnya sekelompok manusia setengah-wanita dan setengah-pria. Yang pria bergaya dan berdandan seperti wanita, sedangkan yang wanita bergaya dan berdandan seperti pria. Populasi waria, dari amatan sepintas di Indonesia, menunjukkan laju peningkatan yang eksponensial. Sungguh mengerikan, di negara yang konon mayoritas penduduknya beragama Islam ini, kita menyaksikan merebaknya jenis manusia tanpa identitas dan wajah yang jelas-tegas tersebut. Inilah erosi identitas yang diakibatkan oleh renjana terhadap kecanggihan, kerumitan dan superioritas yang berlebih-lebihan.
Oleh karena itu, ajakan untuk kembali kepada fitrah, nature, dan kesederhanaan terasa begitu relevan. Kita sangat perlu mengganti pola berpikir dan bersikap yang serba rumit dan canggih ini dengan sesuatu yang lebih sederhana tetapi mendasar dan sejati. Kita perlu menyadari bahwa upaya menentang hukum alam, baik itu kita sadari maupun tidak, dengan dalih-dalih sloganistik, adalah tindakan yang muspra dan absurd. Rasanya tidak perlu lagi saya mendedahkan bukti-bukti akan kemuspraan dan keabsurdan segala macam upaya teoretis maupun praktis untuk menyetarakan pria dan wanita demi terlaksananya renjana kecanggihan dan kesuperioran dalam masyarakat modern yang penuh-sesak dengan konflik ini.
Rasanya adil bila kita mencoba bertanya-tanya ulang: apa bahaya yang bakal terjadi kalau gender itu tetap tidak setara? Apakah ukuran kesetaraan yang dipakai dalam soal ini bersifat kuantitatif, sehingga yang sebetulnya dituju oleh puak pendukung kesetaraan ini adalah simetri geometris? Selain soal kesetaraan, ada soal daya dan pemberdayaan. Apakah daya itu? Mungkinkah daya ini bersifat fisikal, sehingga arti pemberdayaan adalah sejenis body-building untuk wanita? Kalau non-fisikal, apakah pemberdayaan itu bersifat psikis-moral-spiritual? Kalau daya yang dimaksudkan di sini ialah keadaan yang memungkinkan seseorang melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak, yaitu pemberdayaan mental-moral-spiritual, apakah kewajiban-kewajiban dan hak-hak wanita terhadap pria dan sebaliknya?
[1] Lebih jauh, lihat Danielle Crittenden, Wanita Salah Langkah (Qanita, 2002), hal. 71-72.
[2] Lebih jauh, lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? (Mizan, 1999), Bab 3.
[3] Ratna Megawangi, op.cit., Bab 5.
[4] Lebih jauh, lihat C.G. Heilbrun, Toward a Recognition of Androgyn (New York: Norton, 1973).